
Diperlukan Model Bisnis Alternatif dalam Industri AMDK Galon
Industri air minum dalam kemasan (AMDK) galon telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, terdapat beberapa permasalahan dalam sistem bisnis yang berlaku saat ini, seperti keterbatasan model bisnis, yakni model non-refundable (terutama dalam konteks galon bekas pakai berbahan polikarbonat) dan dampaknya terhadap persaingan usaha.
[Baca: Ahli: Model Penjualan AMDK Galon Bekas Pakai adalah Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat]
Beberapa model bisnis alternatif telah diterapkan di luar negeri, seperti di Australia dan Amerika Serikat. Mereka menggunakan galon sekali pakai yang dapat dihancurkan atau galon guna ulang yang dapat diisi dengan air dari produsen mana saja (model tukar-kembali universal) atau modifikasinya yang berupa sistem pengembalian deposit.
Menurut Tjahjanto Budisatrio, ahli bisnis dan persaingan usaha Universitas Indonesia, salah satu sistem di atas bisa diterapkan di Indonesia sebagai model bisnis alternatif dari model penjualan non-refundable yang selama ini dominan terjadi. Khusus dalam sistem tukar-kembali universal, konsumen bisa menukarkan galon merek tertentu dengan galon merek lain (atau mengisi galon dengan air dari produsen lain) tanpa biaya tambahan, sehingga tidak terjadi apa yang disebut “vendor lock-in” dan membuat persaingan usaha menjadi sehat.
“Kita membeli produk satu merek tetapi bisa ditukar galonnya dengan merek lain atau diisi galonnya dengan air dari produsen lain. Konsumen tidak dibebani biaya tambahan (switching cost). Jadi, tidak ada vendor lock-in,” jelas Tjahjanto dalam diskusi terbatas dengan FMCG Insights pada Maret 2023.
Ada sejumlah faktor positif bagi persaingan usaha yang sehat apabila sistem tersebut diterapkan.
Pertama, adanya standardisasi di seluruh industri untuk desain, ukuran, dan kualitas galon. Ini memungkinkan interoperabilitas yang lebih besar di antara penyedia AMDK yang berbeda dan memudahkan pelanggan untuk berganti vendor jika menginginkannya (tidak terjadi vendor lock-in).
Kedua, mempromosikan penggunaan kembali galon. Hal ini akan mengurangi ketergantungan kepada galon sekali pakai. Tentu saja standarisasi kualitas galon harus dipastikan mencakup keamanan material, termasuk bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya seperti Bisfenol A atau BPA.
Ketiga, mendorong kolaborasi dan kemitraan antarvendor AMDK untuk membuat jaringan isi ulang bersama. Selain memudahkan konsumen, ini juga membebaskan konsumen dari keterkuncian kepada satu vendor tertentu yang dominan di pasar.
Keempat, mendorong transparansi dalam hal harga dan ketentuan layanan. Ini akan memudahkan pelanggan untuk membandingkan penawaran dan membuat keputusan yang tepat.
Kelima, menerapkan peraturan yang melindungi hak-hak konsumen dan mendorong persaingan usaha yang sehat, seperti pedoman harga yang adil, praktik anti-monopoli, dan standar kesehatan serta lingkungan. Keenam, menawarkan produk dan layanan yang beragam, sehingga konsumen tidak terlalu bergantung kepada penjualan AMDK galon dari produsen tertentu, terutama yang dominan di pasar.
Ketujuh, memberi insentif bagi konsumen untuk beralih dari produk AMDK yang satu ke produk AMDK yang lain, yang mungkin dinilainya lebih sehat dan aman. Hal ini dapat membantu menghilangkan penguncian vendor dan mendorong opsi yang lebih sehat serta ramah lingkungan.
Dengan menerapkan beberapa atau semua keuntungan tersebut, menurut Tjahjanto, industri AMDK galon dapat mengurangi dampak penguncian vendor, mendorong persaingan, dan mendorong pendekatan yang lebih berkelanjutan, sehat, dan ramah lingkungan.
Sistem pengembalian universal untuk AMDK juga bisa dimodifikasi menjadi sistem pengembalian deposit (deposit return system). DSR sudah banyak diterapkan di sejumlah negara dan berhasil untuk sejumlah jenis wadah air minum, termasuk botol plastik, galon, botol kaca, dan kaleng aluminium.
Di Jerman, misalnya, diterapkan sistem deposit-kembali, baik untuk wadah isi ulang maupun wadah yang tidak dapat diisi ulang. Konsumen membayar deposit saat membeli minuman, dan menerima pengembalian uang setelah mengembalikan wadah kosong ke titik pengumpulan yang telah ditentukan.
Norwegia juga terkenal dengan skema pengembalian deposit dengan tingkat pengembalian yang tinggi. Peritel diwajibkan untuk menerima wadah yang dikembalikan dan konsumen dapat menukarkan deposit mereka di toko mana pun yang menjual jenis minuman yang sama.
Negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan DSR, antara lain adalah Swedia, Finlandia, Denmark, Estonia, dan Lithuania. Negara-negara ini telah menunjukkan bahwa skema DSR dapat secara efektif meningkatkan tingkat daur ulang, mengurangi sampah, dan mempromosikan ekonomi sirkular. Prinsip-prinsip dari DSR sebaliknya pula dapat diadaptasi dan diterapkan untuk mengembangkan sistem tukar-kembali universal dalam konteks bisnis AMDK galon di Indonesia.
Namun sayangnya, regulasi yang ada di Indonesia seperti Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.705/MPP/KEP/11/2003 dan No. 651/MPP/Kep/10/2004 belum mendukung sistem tukar-kembali universal. Kedua keputusan ini pada intinya melarang kemasan atau wadah suatu merek AMDK diisi ulang oleh bukan pemegang atau pemilik mereknya.
Alhasil, menurut praktisi hukum, Iqbal Tawakal Pasaribu, regulasi tersebut perlu diuji melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Dengan adanya sistem yang namanya tukar-kembali universal dan DSR di sejumlah negara, sedangkan di Indonesia sistemnya tidak dapat dikatakan deposit karena akadnya tidak jelas, apakah jual-beli atau sewa-menyewa, dan tidak bisa ditukar atau tidak bisa dijual kembali, atau tidak bisa diuangkan kembali, maka kedua keputusan menteri itu perlu diuji dalam gugatan di PTUN,” kata Iqbal dalam kesempatan diskusi yang sama.
Salah satu masalah yang timbul akibat ketiadaan sistem tukar-kembali universal adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 19 B. Dalam pasal tersebut, pelaku usaha dilarang menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pesaingnya. Dalam konteks ini, keputusan menteri yang ada malah melindungi praktik yang menghambat persaingan usaha, sehingga pelaku usaha kecil tidak bisa berkembang.
Tjahjanto menegaskan bahwa di poin itulah skema atau model penjualan non-refundable AMDK galon di Indonesia bisa dikatakan telah melakukan vendor lock-in dan barriers to entry. Ini, menurutnya, telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 19 B. “Untuk mengatasi masalah ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu mengkaji beberapa hal, seperti larangan menukarkan galon suatu merek dengan galon merek lain, diskriminasi terhadap pelaku usaha lain, dan transparansi biaya produksi galon yang sudah ditanggung konsumen.”
Tjahjanto lebih jauh menguraikan tiga yang perlu dikaji oleh KPPU itu. Pertama, jika galon suatu merek tidak dapat ditukar dengan galon merek lain, maka itu artinya konsumen tidak boleh berhubungan dengan pelaku usaha lain.
Kedua, dengan tidak bisa menukar galon dengan produk pelaku usaha lain, itu artinya sudah ada diskriminasi terhadap pelaku usaha lain.
Ketiga, konsumen telah 'membeli' galon, tetapi galon bukan menjadi milik mereka. Dalam konteks ini, konsumen tidak hanya telah membantu produsen AMDK tersebut dalam menanggung biaya produksi galon, tetapi juga membantu produsen untuk mengetahui jumlah galon yang harus diproduksi, sehingga ada kepastian output yang akan dibeli oleh konsumen. Hal ini berbeda dengan produsen AMDK dengan model bisnis berbeda, yang bergelut dengan ketidakpastian atas output untuk dibeli konsumen. Ketidakpastian inilah yang menyebabkan terjadinya informasi yang tidak simetris. Dalam struktur pasar, terjadinya informasi yang tidak simetris menandakan bahwa bentuk struktur pasar telah menyimpang dari pasar persaingan sempurna, sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Melalui investigasi dan kajian yang dilakukan oleh KPPU, Tjahjanto berharap akan tercipta sistem bisnis yang lebih adil dan sehat, di mana konsumen memiliki kebebasan untuk memilih merek air minum yang diinginkan tanpa terikat dengan kemasan galonnya. Dalam jangka panjang, penerapan sistem tukar-kembali universal dapat memicu persaingan yang lebih sehat di antara pelaku usaha AMDK galon, sehingga mendorong inovasi dan pertumbuhan industri secara keseluruhan.[]